Beranjak dari hasil rangkuman buku Why Asians Are Less Creative Than Westerners karya Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, Australia. Dengan sedikit modifikasi dalam koridor perspektif saya mencoba menciutkan batasan pembahasan dan mengaplikasikannya kedalam tatanan mindset pemuda Indonesia sebagai akibat dari pemikiran kaum tua.
Berbagai hal yang diproyeksikan Prof. Ng Aik Kwang dalam buku itu sangat tepat dengan gambaran kehidupan bangsa ini. Dan sayangnya, kaum tua tak bersedia berhenti tuk mewariskannya kepada para pemuda penerus bangsa. Pola pikir yang tak baik itu sudah menjadi tradisi dan jika dibiarkan sedikit lagi maka akan menjadi budaya karena pemuda saat ini akan kembali mewarisinya ke generasi pemuda dibawahnya.Berikut hasil pemikiran Prof. Ng Aik Kwang yang saya modifikasi agar lebih sesuai dengan kondisi pemuda Indonesia saat ini:
Kebanyakan para orangtua di Indonesia masih menggenggam pemahaman bahwa kesuksesan seseorang diukur dari seberapa banyak harta yang dimiliki. Sedangkan rasa cinta terhadap sesuatu (passion) tidak menjadi faktor penting. Melalui pemikiran itu kaum tua merangsang pemuda untuk secepatnya berhasil menjadi seseorang yang memiliki kekayaan. Dan ini menjadi salahsatu penyebab kreatifitas pemuda selalu kalah dari profesi-profesi populer seperti dokter, pengacara, pegawai pemerintah, dll.
Warisan pola pikir yang kedua yang tak kalah buruk dan masih berhubungan dengan poin pertama yaitu lebih menghargai hasil daripada proses. Wujud kekayaan lebih dihargai daripada proses mendapatkan kekayaan itu. Rasanya ini menjadi salahsatu penyebab bangsa ini seolah mentolerir budaya korupsi. Lalu hubungannya dengan kreatifitas pemuda adalah terpendamnya bakat-bakat kreatif dalam hiruk pikuk jalur bebas hambatan. Pemikiran pemuda Indonesia digiring untuk lebih memilih jalur cepat meski menyalahi aturan daripada melewati jalan yang seharusnya dilalui, yaitu jalan yang akan mematangkan pemikiran dan tindakan seorang pemuda.
Karena passion dan proses tidak dihargai, maka pemuda Indonesia menjadi paranoid pada kekalahan. Pemuda-pemuda Indonesia tidak siap menghadapi kekalahan dan kegagalan. Efek dari ketakutan itu adalah terpendamnya rasa penasaran. Akibatnya, pemuda Indonesia tidak berani mengeksplorasi diri dan mengambil resiko.
Dalam hal pendidikan, para kaum tua yang saat ini berdiri gagah sebagai pembuat dan penjalan aturan, memaksa pemuda untuk masuk ke ranah pendidikan berbasis ‘kunci jawaban’. Mereka mengetengahkan opini bahwa pendidikan itu adalah hafalan, bukan pemahaman pada substansi disiplin ilmu dan implementasinya pada dunia nyata.
Kaum tua tidak menyadari bahwa pendidikan berbasis hafalan itu menjadikan pelajar dan mahasiswa Indonesia harus menerima banyak mata pelajaran. Otak mereka terjejali mata pelajaran ini dan itu. Pola pendidikan seperti ini mejadikan Pemuda Indonesia memahami sedikit-sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai satu bidangpun. Dengan tidak adanya spesifikasi, tentunya ide dan kreatifitas dalam bidang tertentu tidak terasah dengan baik.
Memang pola pendidikan bebasis hafalan mampu mencuatkan pemuda-pemuda Indonesia sebagai juara Olympiade Fisika dan Matematika. Tapi karena terus mempertahankan pola itu maka pemahaman pada substansi disiplin ilmu tidak berkembang. Itu sebabnya sangat jarang pemuda Indonesia yang mampu memenangkan kompetisi pendidikan internasinal yang berbasis inovasi dan kreativitas.
Di Indoneisa, sistem belajar mengajar interaktif sudah diberlakukan sampai ke tingkat dasar, tapi sayangnya, tradisi ‘takut bertanya’ sudah mendarah daging. Tradisi ini adalah warisan yang diterima pemuda dalam doktrin ‘yang muda belum boleh bicara’ dan ‘siapa yang bertanya berarti bodoh’. Efek dari doktrin itu, ketika proses belajar mengajar berlangsung, baik itu disekolah-sekolah ataupun perguruan tinggi, banyak pelajar dan mahasiswa yang tidak berani bertanya. Lihat juga diseminar, simposium ataupun workshop, peserta terlihat malu-malu atau bahkan takut untuk mengangkat tangan dan bertanya atau berkonsultasi dengan narasumber, padahal mereka masih butuh penjelasan tambahan.
Memang ketujuh faktor yang mengakibatkan pemuda Indonesia tidak kreatif diatas bisa dibantah oleh sebahagian kalangan, namun perumusan ini berdasarkan penilaian warisan tua kepada para pemuda dalam cakupan umum yaitu tidak hanya penilaian pemikiran pemuda di kota-kota besar dimana mindset dan mutu pendidikan sudah lebih baik, tapi juga penilaian pada pemikiran pemuda di desa-desa yang pola pikir dan kualitas pendidikannya masih dibawah batas standarisasi.
Kembali ke buku Why Asians Are Less Creative Than Westerners, Prof. Ng Aik Kwang tidak hanya membahas tentang penyebab tapi juga memberi solusi. Tapi dikarenakan artikel tentang terpengaruhnya tindakan kreatif pemuda Indonesia akibat warisan kaum tua ini dirasa terlalu panjang maka saya menuliskan solusi itu di artikel lain berjudul Biarkan Kreatifitas Pemuda Indonesia Menapaki Jalan.
Kebanyakan para orangtua di Indonesia masih menggenggam pemahaman bahwa kesuksesan seseorang diukur dari seberapa banyak harta yang dimiliki. Sedangkan rasa cinta terhadap sesuatu (passion) tidak menjadi faktor penting. Melalui pemikiran itu kaum tua merangsang pemuda untuk secepatnya berhasil menjadi seseorang yang memiliki kekayaan. Dan ini menjadi salahsatu penyebab kreatifitas pemuda selalu kalah dari profesi-profesi populer seperti dokter, pengacara, pegawai pemerintah, dll.
Warisan pola pikir yang kedua yang tak kalah buruk dan masih berhubungan dengan poin pertama yaitu lebih menghargai hasil daripada proses. Wujud kekayaan lebih dihargai daripada proses mendapatkan kekayaan itu. Rasanya ini menjadi salahsatu penyebab bangsa ini seolah mentolerir budaya korupsi. Lalu hubungannya dengan kreatifitas pemuda adalah terpendamnya bakat-bakat kreatif dalam hiruk pikuk jalur bebas hambatan. Pemikiran pemuda Indonesia digiring untuk lebih memilih jalur cepat meski menyalahi aturan daripada melewati jalan yang seharusnya dilalui, yaitu jalan yang akan mematangkan pemikiran dan tindakan seorang pemuda.
Karena passion dan proses tidak dihargai, maka pemuda Indonesia menjadi paranoid pada kekalahan. Pemuda-pemuda Indonesia tidak siap menghadapi kekalahan dan kegagalan. Efek dari ketakutan itu adalah terpendamnya rasa penasaran. Akibatnya, pemuda Indonesia tidak berani mengeksplorasi diri dan mengambil resiko.
Dalam hal pendidikan, para kaum tua yang saat ini berdiri gagah sebagai pembuat dan penjalan aturan, memaksa pemuda untuk masuk ke ranah pendidikan berbasis ‘kunci jawaban’. Mereka mengetengahkan opini bahwa pendidikan itu adalah hafalan, bukan pemahaman pada substansi disiplin ilmu dan implementasinya pada dunia nyata.
Kaum tua tidak menyadari bahwa pendidikan berbasis hafalan itu menjadikan pelajar dan mahasiswa Indonesia harus menerima banyak mata pelajaran. Otak mereka terjejali mata pelajaran ini dan itu. Pola pendidikan seperti ini mejadikan Pemuda Indonesia memahami sedikit-sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai satu bidangpun. Dengan tidak adanya spesifikasi, tentunya ide dan kreatifitas dalam bidang tertentu tidak terasah dengan baik.
Memang pola pendidikan bebasis hafalan mampu mencuatkan pemuda-pemuda Indonesia sebagai juara Olympiade Fisika dan Matematika. Tapi karena terus mempertahankan pola itu maka pemahaman pada substansi disiplin ilmu tidak berkembang. Itu sebabnya sangat jarang pemuda Indonesia yang mampu memenangkan kompetisi pendidikan internasinal yang berbasis inovasi dan kreativitas.
Di Indoneisa, sistem belajar mengajar interaktif sudah diberlakukan sampai ke tingkat dasar, tapi sayangnya, tradisi ‘takut bertanya’ sudah mendarah daging. Tradisi ini adalah warisan yang diterima pemuda dalam doktrin ‘yang muda belum boleh bicara’ dan ‘siapa yang bertanya berarti bodoh’. Efek dari doktrin itu, ketika proses belajar mengajar berlangsung, baik itu disekolah-sekolah ataupun perguruan tinggi, banyak pelajar dan mahasiswa yang tidak berani bertanya. Lihat juga diseminar, simposium ataupun workshop, peserta terlihat malu-malu atau bahkan takut untuk mengangkat tangan dan bertanya atau berkonsultasi dengan narasumber, padahal mereka masih butuh penjelasan tambahan.
Memang ketujuh faktor yang mengakibatkan pemuda Indonesia tidak kreatif diatas bisa dibantah oleh sebahagian kalangan, namun perumusan ini berdasarkan penilaian warisan tua kepada para pemuda dalam cakupan umum yaitu tidak hanya penilaian pemikiran pemuda di kota-kota besar dimana mindset dan mutu pendidikan sudah lebih baik, tapi juga penilaian pada pemikiran pemuda di desa-desa yang pola pikir dan kualitas pendidikannya masih dibawah batas standarisasi.
Kembali ke buku Why Asians Are Less Creative Than Westerners, Prof. Ng Aik Kwang tidak hanya membahas tentang penyebab tapi juga memberi solusi. Tapi dikarenakan artikel tentang terpengaruhnya tindakan kreatif pemuda Indonesia akibat warisan kaum tua ini dirasa terlalu panjang maka saya menuliskan solusi itu di artikel lain berjudul Biarkan Kreatifitas Pemuda Indonesia Menapaki Jalan.
(GENERASI ACEH MANDIRI)
Sumber : http://www.mindtalk.com
Posting Komentar