Diantara penyebab kurangnya minat menjadi seorang wirausaha, selain ketiadaan mimpi adalalah rasa malu. Malu berjualan dan takut ditolak. Saya teringat ketika pertama kali menjadi sales buku belajar bahasa Inggris. Karena sudah bosan menganggur, dan lamaran pekerjaan yang tersebar tidak kunjung ada tanggapan, maka saya memutuskan untuk bekerja apapun. Namun yang menjadi kendala adalah rasa malu yang tertanam kuat dalam hati saya.
Saya tidak tahu kenapa memiliki rasa malu yuang demikian besar, padahal saya berasal dari keluarga miskin. Mungkin penyebabnya, justru karena dari keluarga miskin maka, rasa malu dan gengsinya tinggi. Kenapa? Karena kemiskinan yang saya alami tidak ingin diketahui orang lain. Saya ingin orang melihat saya sebagai orang biasa, bukan orang yang serba kekurangan. Orang miskin kok sombong?
Ternyata sikap malu dan gengsi ini, banyak menjangkiti orang miskin, atau bermental miskin. Maka tidak mustahil sifat konsumtif kebanyakan dimiliki oleh orang miskin dan bermental miskin. Ketika membeli sesuatu mereka tidak mempedulikan, segi manfaat dan kebutuhan. Tetapi mereka mengutamakan pemenuhan gengsi. Maka terciptalah kata “biar tekor asal kesohor”.
Akhirnya dengan terpaksa saya menerima pekerjaan yang paling tidak saya sukai, yaitu menjadi sales. Saya meresa saat itu, pekerjaan sales adalah pekerjaan yang rendah dan memalukan. Namun setelah mendapatkan training sebagai seorang sales, pikiran saya agak terbuka. Sales ternyata pekerjaan yang menjanjikan. Karena gaji berbanding dengan usaha yang dilakukan. Saya bisa mendapatkan gaji sebesar yang saya inginkan. Suasana training sungguh benar-benar membuat angan-anagn saya melambung. Rasanya tidak sabaran lagi untuk segera terjun, untuk menjual.
Namun ketika waktu turun kelapangan telah tiba, rasanya kaki ini, beratnya menjadi sekian ton. Rencana kunjungan yang telah tersusun dengan rapi, tidak satupun yang dapat diselesaikan. Semuanya kandas ketika akan memasuki pekarangan rumah prospek. Kejadian ini hapir berlangsung 2 minggu. Padahal ketika malam harinya sudah disiapkan apa yang akan dilakukan di pagi harinya. Selain itu, semangat untuk berjualan tumbuh kembali. Tetapi kenapa selalu kandas dilapangan?
Hingga suatu hari, ketika akan mengetuk pinttu pagar prospek, ada suara “silahkan masuk nak, pintu pagar tidak terkuncing” kata seorang laki-laki tua yang sedang menyirami bunga dihalaman. Saat itu ketika saya akan mengetuk pintu pagar, tidak melihat kalau ada orang dihalaman rumah. Ketika memsuki halaman rumah prospek, dadaku bergemuruh seakan mau meledak. Tanpa terasa saya menegluarkan keringat dingin. “tahan-tahan. Kamu harus bisa mengusai keadaan. Kamu sarjana. Kamu sering bicara didepan umum. Kenapa kamu takut ketemu orang?. Bahkan kamu pernah ketemu pak Camat dan memaksa dia untuk memberi piala bergilir” Suasan hati saya tidak karuan. Ya kenapa saya jadi paranoid seperti ini. Padahal ketika mahasiswa saya sering, ketemu orang yang tidak dikenal, pernah berceramah dihadapan lebih 500 orang. Tetapi kenapa kini menghadap satu orang saja, rasanya seperti ini? Perasaan malu menjadi seorang sales dan takut ditolak ternyata menghasilkan suatu perilaku yang tidak noprmal dan tidak mengenakkan.
“Silahkan duduk dik”, suara tuan rumah yang sedikit agak mengurangi gejolak yang ada dihati saya. “ ada apa dik. Ada yang bisa saya bantu?”. Tanya tuan rumah, setelah melihat saya duduk. Sikap tuan rumah yang akrab, sebenarnya sangat membantu meredakan gejolak dihati saya. Namun semua itu belum bisa menjadikan saya bisa mengucapkan kata-kata dengan baik dan lancar.
Walaupun, pertemuan tersebut sangat menyiksa hati dan tidak terjadi penjualan, ternyata mampu memberikan dorongan untuk pertemuan-pertemuan yang lain. Sejak saat itu rasa malu dan takut ditolak sedikit demi sedikit mulai sirna. Saya mulai menikmati disetiap pertemuan penjualan walaupun tidak menghasilkan penjualan.
Setelah 2 bulan berlalu tidak menghsilkan penjualan sama sekali, akhirnya saya mendapatkan penjualan. Rasanya ketika itu saya mendapatkan kemenganan yang luarbiasa. Sungguh suatu kesenangan dan kebahagiaan yang tidak dapat terlukiskan dengan kata-kata, ketika seoarng sales dengan masa pergulatan lebih 2 bulan akhirnya mendapatkan penjualan. Rasa malu, gemuruh yang menyesakkan jiwa, seakan tidak pernah terjadi. Yang ada kini hanyalah kesengan dan kebahagian dan kata” ternyata saya bisa menjual dan karier sales adalah membahagiakan dan membanggakan”
Setelah mengalami sendiri, ternyata benar apa kata orang, untuk menghilangkah rasa takut dan malu, satu-satunya cara untuk menghilangkannya adalah dengan cara melekaukan apa yang ditakutkan. Anda tidak bisa menghilangkan rasa malu dan takut dengan cara menunda melakukan apa yang ditakutkan. Justru semakin ditunda rasa malu dan takut akan semakin besar.
Jika anda masih juga tidak mau bertindak, perbesarlah harapan dan impian anda. Atau jika memungkinkan buatlah seakan-akan menjadi satu keadaan kepepet. Tidak ada cara lain selain ini. Kenapa saya tetap bertahan mau melakukan profesi sebagai seorang sales?.Karena saya merasa profesi ini menjanjikan dan tidak ada pilihan lain. Daripada malu numpang makan terus-menerus lebih baik bekerja dan berjuang walaupun dengan hati yang tersiksa oleh rasa malu dan takut.
Ternyata sikap malu dan gengsi ini, banyak menjangkiti orang miskin, atau bermental miskin. Maka tidak mustahil sifat konsumtif kebanyakan dimiliki oleh orang miskin dan bermental miskin. Ketika membeli sesuatu mereka tidak mempedulikan, segi manfaat dan kebutuhan. Tetapi mereka mengutamakan pemenuhan gengsi. Maka terciptalah kata “biar tekor asal kesohor”.
Akhirnya dengan terpaksa saya menerima pekerjaan yang paling tidak saya sukai, yaitu menjadi sales. Saya meresa saat itu, pekerjaan sales adalah pekerjaan yang rendah dan memalukan. Namun setelah mendapatkan training sebagai seorang sales, pikiran saya agak terbuka. Sales ternyata pekerjaan yang menjanjikan. Karena gaji berbanding dengan usaha yang dilakukan. Saya bisa mendapatkan gaji sebesar yang saya inginkan. Suasana training sungguh benar-benar membuat angan-anagn saya melambung. Rasanya tidak sabaran lagi untuk segera terjun, untuk menjual.
Namun ketika waktu turun kelapangan telah tiba, rasanya kaki ini, beratnya menjadi sekian ton. Rencana kunjungan yang telah tersusun dengan rapi, tidak satupun yang dapat diselesaikan. Semuanya kandas ketika akan memasuki pekarangan rumah prospek. Kejadian ini hapir berlangsung 2 minggu. Padahal ketika malam harinya sudah disiapkan apa yang akan dilakukan di pagi harinya. Selain itu, semangat untuk berjualan tumbuh kembali. Tetapi kenapa selalu kandas dilapangan?
Hingga suatu hari, ketika akan mengetuk pinttu pagar prospek, ada suara “silahkan masuk nak, pintu pagar tidak terkuncing” kata seorang laki-laki tua yang sedang menyirami bunga dihalaman. Saat itu ketika saya akan mengetuk pintu pagar, tidak melihat kalau ada orang dihalaman rumah. Ketika memsuki halaman rumah prospek, dadaku bergemuruh seakan mau meledak. Tanpa terasa saya menegluarkan keringat dingin. “tahan-tahan. Kamu harus bisa mengusai keadaan. Kamu sarjana. Kamu sering bicara didepan umum. Kenapa kamu takut ketemu orang?. Bahkan kamu pernah ketemu pak Camat dan memaksa dia untuk memberi piala bergilir” Suasan hati saya tidak karuan. Ya kenapa saya jadi paranoid seperti ini. Padahal ketika mahasiswa saya sering, ketemu orang yang tidak dikenal, pernah berceramah dihadapan lebih 500 orang. Tetapi kenapa kini menghadap satu orang saja, rasanya seperti ini? Perasaan malu menjadi seorang sales dan takut ditolak ternyata menghasilkan suatu perilaku yang tidak noprmal dan tidak mengenakkan.
“Silahkan duduk dik”, suara tuan rumah yang sedikit agak mengurangi gejolak yang ada dihati saya. “ ada apa dik. Ada yang bisa saya bantu?”. Tanya tuan rumah, setelah melihat saya duduk. Sikap tuan rumah yang akrab, sebenarnya sangat membantu meredakan gejolak dihati saya. Namun semua itu belum bisa menjadikan saya bisa mengucapkan kata-kata dengan baik dan lancar.
Walaupun, pertemuan tersebut sangat menyiksa hati dan tidak terjadi penjualan, ternyata mampu memberikan dorongan untuk pertemuan-pertemuan yang lain. Sejak saat itu rasa malu dan takut ditolak sedikit demi sedikit mulai sirna. Saya mulai menikmati disetiap pertemuan penjualan walaupun tidak menghasilkan penjualan.
Setelah 2 bulan berlalu tidak menghsilkan penjualan sama sekali, akhirnya saya mendapatkan penjualan. Rasanya ketika itu saya mendapatkan kemenganan yang luarbiasa. Sungguh suatu kesenangan dan kebahagiaan yang tidak dapat terlukiskan dengan kata-kata, ketika seoarng sales dengan masa pergulatan lebih 2 bulan akhirnya mendapatkan penjualan. Rasa malu, gemuruh yang menyesakkan jiwa, seakan tidak pernah terjadi. Yang ada kini hanyalah kesengan dan kebahagian dan kata” ternyata saya bisa menjual dan karier sales adalah membahagiakan dan membanggakan”
Setelah mengalami sendiri, ternyata benar apa kata orang, untuk menghilangkah rasa takut dan malu, satu-satunya cara untuk menghilangkannya adalah dengan cara melekaukan apa yang ditakutkan. Anda tidak bisa menghilangkan rasa malu dan takut dengan cara menunda melakukan apa yang ditakutkan. Justru semakin ditunda rasa malu dan takut akan semakin besar.
Jika anda masih juga tidak mau bertindak, perbesarlah harapan dan impian anda. Atau jika memungkinkan buatlah seakan-akan menjadi satu keadaan kepepet. Tidak ada cara lain selain ini. Kenapa saya tetap bertahan mau melakukan profesi sebagai seorang sales?.Karena saya merasa profesi ini menjanjikan dan tidak ada pilihan lain. Daripada malu numpang makan terus-menerus lebih baik bekerja dan berjuang walaupun dengan hati yang tersiksa oleh rasa malu dan takut.
(Generasi Aceh Mandiri)
Sumber : http://forumwirausaha.blogspot.com
Posting Komentar